Krisis politik yang menyerang negara- negara anggota OKI semenjak dini Januari 2011 menampilkan kalau dunia Islam dikala ini memerlukan role of model dalam proses transisi serta demokrasi. Selaku salah satu anggota OKI dengan jumlah penduduk kebanyakan beragama Islam terbanyak di dunia, Indonesia dituntut buat membagikan donasi nyata dalam upaya menggapai perdamaian di kawasan Timur Tengah. Indonesia ditatap sanggup buat berfungsi selaku teladan( role of model) untuk keserasian antara Islam, modernitas serta demokrasi damai, dan selaku bridge builder ikatan Barat serta Islam.
Tuntutan buat turut berfungsi dalam upaya perdamaian untuk Negara- negara anggota tercantum Indonesia sejalan dengan Mecca Declaration and Ten- Years Program of Actions Organization of The Islamic Conference( TYPOA- OIC) yang tidak cuma fokus pada isu politik, namun pula isu- isu pembangunan, sosial, ekonomi serta ilmu pengetahuan. Lewat deklarasi ini, OKI diharapkan sanggup membangun nilai- nilai toleransi, modernitas, demokrasi, memerangi terorisme, membendung Islamophobia, tingkatkan kerjasama serta solidaritas antar negeri anggota, conflict prevention, penanggulangan permasalahan Palestina, Filipina Selatan, Kashmir yang tidak kunjung usai, dan masalah- masalah yang terjalin di Timur Tengah serta Afrika Utara. Lalu, bagaimanakah Indonesia menempatkan partisipasi serta kontribusinya di OKI selaku bagian integral dari kepentingan diplomasi serta politik luar negerinya?
Langkah apa saja yang ditempuh Indonesia dalam proses transformasi yang saat ini tengah berlangsung di OKI? Sejarah Indonesia di OKI hadapi dinamika yang lumayan unik. Keanggotaan serta kedudukan aktif Indonesia di OKI bermula semenjak Organisasi Islam terbanyak di dunia ini berdiri pada 25 September 1969, sebab Indonesia ialah salah satu dari 24 negeri yang muncul dalam KTT I di Rabat, Maroko yang ialah dini berdirinya OKI. Semenjak dikala itu kedudukan Indonesia di OKI hadapi pasang surut. Pada tahun- tahun awal kedudukan Indonesia di OKI masih terbatas, apalagi keanggotaan Indonesia di OKI pernah jadi perdebatan, baik oleh golongan OKI ataupun di dalam negara. Kala piagam awal OKI dicetuskan pada tahun 1972 peran indonesia dalam kerjasama antar negara ,
Indonesia menolak buat menandatanganinya serta menahan diri buat jadi anggota formal sebab bersumber pada UUD 1945, Indonesia tidaklah negeri Islam. Demikian pula dengan politik luar negara Indonesia yang Leluasa Aktif, tidak mendasarkan pada nilai- nilai Islam. Tetapi, sebab tuntutan aspirasi serta politik dalam negara, hingga Indonesia mengawali berfungsi‘ aktif’ di OKI pada tahun 1990- an, kala presiden Soeharto buat awal kalinya muncul dalam KTT ke- 6 OKI yang diselenggarakan di Senegal, Desember 1991. Kedatangan presiden Soeharto tersebut ialah langkah dini pergantian kebijakan politik luar negara Indonesia buat berpartisipasi lebih aktif di OKI, walaupun kedudukan Indonesia di OKI tidak sangat dominan sebagaimana kedudukannya di forum kerjasama multilateral semacam ASEAN serta GNB( Gerakan Non Blok).
Sebagian kedudukan aktif Indonesia di OKI yang menonjol merupakan kala pada tahun 1993 Indonesia menerima mandat selaku pimpinan Committee of Six, yang bertugas memfasilitasi negosiasi damai antara Moro National Liberation Front( MNLF) dengan pemerintah Filipina. Setelah itu pada tahun 1996, Indonesia jadi tuan rumah Konferensi Tingkatan Menteri( KTM- OKI) ke- 24 di Jakarta.
Tidak hanya itu, Indonesia pula membagikan donasi buat mereformasi OKI selaku wadah buat menanggapi tantangan umat Islam merambah abad ke- 21. Pada penyelenggaraan KTT OKI ke- 14 di Dakar Senegal, Indonesia menunjang penerapan OICs Ten- Year Plan of Action. Dengan diadopsinya piagam ini, Indonesia mempunyai ruang buat lebih berfungsi dalam membenarkan implementasi reformasi OKI tersebut. Indonesia berkomitmen dalam menjamin kebebasan, toleransi serta harmonisasi dan membagikan fakta nyata hendak keselarasan Islam, demokrasi serta modernitas.
Untuk Indonesia, OKI ialah wahana buat menampilkan citra Islam yang santun serta moderat. Sebagaimana yang ditunjukkan Indonesia pada dunia internasional dalam penerapan reformasi 1998 dan keahlian Indonesia melewati transisi mengarah negeri yang demokratis lewat penyelenggarakan pemilihan universal legislatif maupun pemilihan presiden secara langsung yang berjalan dengan relatif baik. Pengalaman Indonesia tersebut bisa dijadikan referensi untuk negara- negara anggota OKI yang lain, spesialnya negara- negara di Timur Tengah serta Afrika Utara yang lagi hadapi proses demokratisasi.
Dalam menanggulangi konflik Aceh, Indonesia sanggup belajar dari pengalaman kalau puluhan tahun perseteruan Indonesia- GAM cuma dapat dituntaskan lewat perjanjian damai yang silih menguntungkan bukan dengan jalur kekerasan yang memakan korban banyak jiwa. Tidak hanya itu bermacam keberhasilan Indonesia yang didukung bermacam pihak dalam menuntaskan konflik yang terjalin di Poso, Sulawesi Tengah sanggup dijadikan nilai tambah untuk Indonesia di mata negara- negara yang tergabung dalam OKI. Indonesia bisa mengambil beberapa kesempatan dengan menjadikan OKI selaku Organisasi multilateral non- PBB yang bisa membagikan donasi nyata untuk kepentingan Indonesia di kancah internasional. Lewat OKI, Indonesia pula bisa menawarkan program- program nasional yang dapat dibesarkan oleh negara- negara anggota OKI yang lain. Selaku contoh kenaikan pembangunan ekonomi, program anti korupsi, Good Governance, penegakkan HAM, serta hak- hak wanita.
Kesempatan Indonesia buat mengetuai OKI terus menjadi terbuka pada KTT OKI 2014 yang hendak diselenggarakan di Jakarta. Pemerintah Indonesia mempunyai modal dasar yang kokoh terpaut peranan- peranan di dunia internasional: Awal, selaku negeri muslim terbanyak di dunia Indonesia jadi kekuatan berarti pada abad ke 21 terpaut dengan pembangunan demokrasi. Di dunia Islam–selain Malaysia serta Turki- konsep demokrasi serta toleransi susah diterapkan secara penuh oleh negara- negara anggota OKI. Perihal tersebut bisa dibuktikan dengan timbulnya konflik kekerasan sampai memakan korban jiwa yang tidak sedikit dalam penerapan demokrasi di kawasan Timur Tengah. Kedua, selaku pimpinan ASEAN, posisi Indonesia terus menjadi diperhitungkan. Permasalahannya merupakan sanggup tidaknya pemerintah mengelola kemampuan strategis selaku pimpinan ASEAN tersebut.
Ketiga, Letak geografis Indonesia yang sangat strategis bisa menolong tingkatkan perekonomian serta kesejahteraan Indonesia serta kawasan sekitarnya. Disamping itu, jabatan yang diemban Indonesia selaku pimpinan Parliamentary Union of OIC Member States( PUIC) pada persidangan keenam di Kampala, Uganda Januari 2011, membagikan peluang lebih untuk Indonesia buat lebih vokal dalam menyuarakan kebijakan luar negara serta kepentingannya. Dalam PUIC, Indonesia bisa berfungsi buat mendesak kenaikan kinerja OKI ditengah tantangan globalisasi. PUIC jadi salah satu kekuatan yang diperhitungkan tidak cuma oleh dunia Islam, namun pula oleh Barat. Dengan memaksimalkan kedudukan PUIC, OIC serta subsidiary organs diharapkan bisa kurangi ketergantungan dunia Islam terhadap negeri Barat dalam penyelesaian permasalahan di negara- negara anggotanya.
Bermacam kesempatan ini wajib sanggup dimanfaatkan oleh Indonesia walaupun terdapat sebagian tantangan yang wajib dialami Indonesia dalam mereformasi kedudukan OKI kedepan. Misalnya, permasalahan kepentingan politis serta perbandingan komentar antar negeri anggota OKI kerap mempersulit untuk OKI buat menunjukkan perilaku yang jelas. Perihal ini nampak kala negara- negara Arab mempunyai perbandingan perilaku menimpa Palestina yang sampai dikala ini masih belum menciptakan penyelesaian. Tantangan lain merupakan posisi geografis Indonesia yang tidak bersebelahan dengan titik pusat peta dunia Islam( Peripherial Position), menimbulkan kekhawatiran untuk Indonesia buat membagikan pengaruhnya kepada negara- negara di kawasan Timur Tengah.
Tantangan lain semacam dikemukakan oleh Saad S. Khan, dalam bukunya Reasserting International Islam: a focus on the organization of the Islamic conference and other Islamic Institusions merupakan terdapatnya 4 keadaan yang membatasi kinerja OKI ialah meningkatnya jumlah negeri angota sampai menggapai 57 negeri yang menyebabkan sulitnya memastikan konsensus( konvensi), timbulnya perbandingan kepentingan antara negeri yang maju serta tumbuh, piagam OKI yang dinilai belum bisa menunjukkan lapisan organisasi serta pola ikatan organisasi yang jelas, dan kekuatan finansial OKI yang masih lemah.
Baca Juga : Apakah Game PC Menjadi Terlalu Mahal?
Oleh sebab itu, dalam mengalami tantangan- tantangan tersebut Indonesia wajib sanggup memaksimalkan kedudukannya di kancah Internasional, semacam dalam G20, dimana Indonesia dapat berkolaborasi dengan Arab Saudi serta Turki buat membangun poros strategis dalam mempersatukan dunia Islam. Disamping itu Indonesia dituntut buat membetulkan citranya dihadapan negara- negara Arab, spesialnya berkaitan dengan permasalahan Tenaga Kerja Indonesia( TKI) dan tingkatkan perekonomian lewat kerjasama antar negara- negara anggota OKI, sehingga dengan kekuatan ekonomi tersebut bisa dijadikan modal buat membangun dunia Islam yang leluasa dari pengaruh hegemoni Barat.( Muhammad Fakhry Ghafur)